Cerpen Tersisa
Diposting oleh Feriska Lala , Jumat, 29 Maret 2013 09.18
Satu - satunya cerpen yang tersisa sejak SMP-SMA, satu2 nya cerpen dalam softcopy. Semuanya ilang diloakin sewaktu aku kuliah di Surabaya, maklum semua pada gak tahu kalo itu buku nostalgia cerpen fiksi. Ini cerpen penuh dengan ikatan dan batasan, dan terlalu kaku karena pengekspresiannya dibatasi oleh aturan lomba. Cerpen saat SMA kelas 1 yang pengen aku ikutin lomba, makanya aku salin jadi softcopy, hehehe.
NAHKODA KEBENARAN
Hanafi
seorang mahasiswa baru S2 spesialis kedokteran forensik pada perguruan tinggi
terkenal, sedangkan Fikri tercatat sebagai mahasiswa S2 Akuntansi yang akan
wisuda dan siap menyandang pekerjaan barunya sebagai Akuntan Publik. Hanafi belajar lebih mandiri dengan kuliah
sambil bekerja seperti yang dilakukan oleh Fikri. Sedangkan kiriman uang dari
orang tua Hanafi yang setiap bulannya mengalir, dialirkan Hanafi kembali untuk
panti asuhan kumuh di sekitar tempat kostnya. Bagi Hanafi, melihat tiap anak
terabaikan di Panti Asuhan itu tersenyum, seolah membuat perutnya yang makan 2
kali sehari tidak merasa pernah lapar.
*****
Tak
terasa satu minggu setelah kepergian Fikri ke kota Lombok, tempat dinasnya yang
baru. Hanafi merasa kesepian. Terasa sekali jika setiap sudut kamar yang biasa
ramai oleh gelak tawa Fikri, sekarang terasa hambar karena ketiadaannya di
kostan sempit itu.
Untuk
memecah kesunyian, Hanafi pun memutar radio usangnya yang selalu dia bunyikan
kala menunggu kedatangan Fikri.
“Selamat
malam pendengar sekalian. Perihal kasus pembunuhan Kardi, 44 tahun yang
berprofesi menjadi sopir Presiden pagi tadi, hingga berita ini diturunkan satu
– satunya saksi yang berada di TKP adalah Putri Presiden, Eliza, 25 tahun.
Polisi masih menyelidiki bukti – bukti lain di TKP. Namun tidak menutup
kemungkinan status saksi Nona Eliza akan berubah menjadi tersangka. Mengingat
pada saat ditemukan, Nona Eliza memegang benda tumpul yang diduga sebagai bekas
alat membunuh sopir Kardi. Nona Eliza masih dalam tahap intograsi lebih lanjut
untuk mengetahui kebenaran berita ini,“ papar pembaca berita di radio itu.
“Astaghfirullah, apa saya tidak salah
dengar. Nona Eliza anak presiden yang dimaksud oleh radio ini kan Eliza teman
Fikri. Yang sering ketemu dengan aku. Astaga kasihan, pasti dia sedih sekali. Eliza
itu baik. Sulit dipercaya dia melakukan semua ini. Eliza itu gadis yang baik,
taat beribadah“ celoteh Hanafi sendirian
“Kring
– kring, kring – kring,“ handphone Hanafi
berdering.
“Hallo,
Assalamualaikum, Pak Saman,“ tenyata Hanafi
mendapatkan telepon dari Dosen Pembimbing penelitiannya.
“
Walaikumsalam Han. Sory ganggu Han. Gini, barusan I mendapat telepon dari pak presiden
untuk menangani kasus yang menjerat anaknya itu, Si Eliza. Karena dia dulu
adalah sahabat lama I, dia
mempercayakan pada I untuk
mencocokkan DNA Eliza dengan DNA darah pada sapu tangan yang terikat pada tongkat
pemukul. Tongkat itu tertinggal di TKP, tapi sekarang sudah berada di tangan
polisi. Berhubung I sebulan ini ada research ke luar negeri. Kira – kira U bisa gantiin I handle kasus ini nggak? Kalau U mau,
besok U mulai kerja. Lumayan loo honor yang ditawarkan Han. Gimana U mau?” papar dosen yang khas dengan
kata I untuk menyebut dirinya dan U untuk menyebut lawan bicaranya.
“Iya
pak boleh. Kebetulan saya beberapa minggu ini juga tidak ada project. Sebelumnya terima kasih banyak
Pak atas informasi dan tawarannya nggih Pak“
ungkap Hanafi.
“Iya
Han, sama – sama. Karena hanya U mahasiswa
yang aku percaya buat handle kasus
ini. Kalo gitu udah dulu ya Han. Thanks loo ya. Assalamualaikum han, lanjutin tidur lagi ya,“ ujar Pak Saman
“Walaikumsalam pak,“ jawab Hanafi.
*****
Hanafi
melewati ruang demi ruang kediaman presiden yang begitu megah dan terlihat
semua aksesoris yang di pasang adalah barang yang bernilai jual tinggi. Hingga
tiba pada suatu lorong yang gelap petugas keamanan itu berhenti.
“Disini
tuan, tempat nona Eliza mengurung diri. Tuan tunggu disni saja biar saya
ambilkan DNA yang Tuan maksud,“ ungkap keamanan itu
“Tidak
usah pak, biar saya sendiri saja,“ tukas Hanafi
“Tapi
Nona Eliza sangat berbahaya,“ sahut keamanan itu
“Saya
sudah terbiasa kok menghadapi pasien seperti ini,“ jawab Hanafi yang mulai
membuka pintu dimana Eliza nampak terdiam di balik kaca.
“Assalamualaikum Eliza,“ salam Hanafi
“Walaikumsalam, ada apa kamu kesini Han?“
Eliza menoleh ke Hanafi dan tampak senang sekali melihat Hanafi.
“Aku
kesini menggantikan dosenku El, beliau disuruh ayah kamu mengambil DNA kamu
untuk test DNA,“
“Pasti
untuk kasus pembunuhan kemarin,“ hardik Eliza.
“
Iya benar El. Bagaimana kabarmu?” tanya Hanafi.
“Alhamdulilah
masih bisa bernafas Han. Aku baik – baik saja. Tidak ada yang perlu dirisaukan
selama kita masih punya Allah, bukan begitu?!” jawab Eliza tenang
“Iya
benar El,“ balas Hanafi.
“Oh
iya, silakan ambil darahku untuk test DNA Han,” titah Eliza.
Hanafi
pun dengan cekatan mengambil darah Eliza di bagian lengannya.
“Han,
sebelum kau pergi, saya ingin memberikan barang yang pernah aku pinjam dari
Fikri,“ ujar Eliza.
“Tapi
kamu tahu sendiri kan El, kalau Fikri tidak tinggal bersamaku lagi?”
“Tidak
apa – apa Han, aku titip saja. Nanti sebelum kau kasihkan ke Fikri, tolong buka
dulu. Barangkali ada barang yang aku lupa menaruhnya“, pesan Eliza sembari
masuk ke bilik kecil.
“Tolong
periksa dulu ya Han, sebelum kamu kasihkan ini ke Fikri,“ kata Eliza
“Iya
El,“ sahut Hanafi, walaupun dia tidak tahu apa yang dimaksudkan oleh Eliza
*****
Mentari
masih terlihat sayup malu menampakkan wajahnya, sementara binar rembulan
menelisik menyapa. Diiringi nyanyian kokok ayam jantan yang lantang melengking,
membuat penghuni kota yang tersadar segera mengambil air wudlu. Hanafi adalah
salah seorang yang terbangun di tengah adzan
subuh. Dia segera mengambil wudlu dan mendirikan salat.
“Assalamualaikum warahmatullah,“
terdengar salam penutup salat dari Hanafi,
“Assalamualaikum Hanafi,“ tiba – tiba
terdengar ucapan salam yang begitu mengagetkan Hanafi.
“Walaikumsalam, Fikri. Ada apa kamu balik
lagi?” tanya Hanafi setengah kaget menyambut sahabatnya.
“Ini
ada satu dokumen pentingku yang tertinggal Han, setelah ambil itu besok aku
balik lagi.“
“Bagaimana
kabarmu Fik?”
“Baik.
Oh iya, kamu dapat titipan dari Eliza kemarin waktu aku ketemu dia buat ambil sample DNA-nya.”
“Sample DNA?! Kalau benar - benar suka
nggak usah sampe segitunya lah Han, buat memeriksa kesehatannya,“ goda Fikri.
“Omonganmu
semakin nglantur aja Fik. Kamu nggak tahu ya, kalau Eliza baru saja terjerat
kasus pembunuhan sopir pribadinya...”
“Apa?!
Tidak mungkin dia setega itu Han?“ potong Fikri
“Iya,
kasihan sekali dia Fik, walaupun wajahnya tampak mencoba tegar, tapi aku tahu
kalau hatinya teriris,“ tambah Hanafi
“Memangnya
Eliza nitipin apa? Perasaan aku dan dia nggak pernah pinjam uang, ngutang, atau
saling pinjam barang,“
“Ya
mana aku tahu Fik, buka aja. Itu di laci kedua warna biru” balas Hanafi
Fikri
pun membuka kotak yang dimaksud Hanafi. Tapi alangkah terkejutnya, saat tahu
jika tidak ada apa – apa di kotak itu selain tape recorder yang berisi kaset. Serta sebuah surat bertulisan
tangan.
Setelah
ditekan tombol play tape recordernya, terdengar
percakapan dua orang wanita yang diiringi isak tangis serta celotehan anak
kecil. Setelah didengarkan secara seksama oleh dua pemuda itu. Ternyata tape itu berisikan percakapan antara
Eliza dan Istri almarhum sopir di kediaman istri sopir. Dua orang itu sedang
memperbincangkan kematian suaminya beberapa jam setelah kabar disebarluaskan di
seantero nusantara. Dengan isak tangis yang jelas istri almarhum sopir mengatakan
jika kematian suaminya pasti berhubungan dengan ketidaksengajaan mendengar
ancaman presiden kepada kepala departemen keuangan, untuk mengalihkan dana
logistik ke rekening Presiden. Karena presiden menyadari kehadiran orang lain
di ruangan itu. Lantas istri sopir itu bercerita bahwa presiden melarang
suaminya untuk bercerita pada siapapun. Dan menuruti kata presiden, suaminya
tidak berkata pada siapapun kecuali dirinya. Namun di tengah percakapan itu,
anaknya yang masih berumur 5 tahun menangis. Dia berkata bahwa melihat sesosok
hitam di balik kelambu kamarnya yang lupa belum ditutup. Namun, entah apa yang
terjadi pada pagi harinya sopir sudah ditemukan meninggal dunia setelah
mengantarkan nona Eliza. Keluarga sopir juga tak percaya jika nona Eliza yang
melakukan semua itu. Karena Eliza selama ini bersikap baik kepadanya.
“Astaghfirullah, sadis sekali presiden.
Dibalik kebijakannya selama ini, ternyata dia begitu keji.“
“Hush, Jangan berkata seperti itu. Kita
masih belum tahu siapa yang benar. Selanjutnya, kita baca satu surat dari Eliza
“ sahut Hanafi
“Alhamdulillah, akhirnya Allah
mempertemukan saya dengan Mas Hanafi. Saya tidak tahu pertanda apa ini. Tapi
yang jelas hanya kepada mas, saya mempercayakan apa yang saya yakini benar. Dan
hanya mas Hanafi, satu – satunya orang yang tahu di negeri ini jika saya tidak
gila, seperti yang ditutrkan media massa. Sebenarnya jika mas tahu, sejak kecil
hingga dewasa, saya tidak merasakan kebahagiaan tinggal bersama ayah saya.
Mungkin bukan karena status anak angkat, namun karena perlakuan ayah yang tidak
menganggap saya sebagai anak kandung. Sebenarnya saya adalah seorang gadis
kecil yang diangkat presiden 10 tahun yang lalu. Orang tua saya adalah sahabat
karib dari presiden. Namun ibu saya sudha meninggal dunia saat saya lahir dan
ayah saya meninggal dunia saat saya berumur 9 tahun. Karena kasihan melihat
saya, mungkin juga karena harta berlimpah yang saya miliki. Sementara saya
tidak memiliki sanak saudara dari ayah dan ibu, sehingga presiden mengangkat
saya sebagai anak. Sumpah demi Allah, bukan saya pembunuh Pak Kardi. Saya tidak
dapat berkata banyak karena mata – mata ayah yang tersebar dimana – mana dan
tidak akan segan – segan mencelakai siapapun yang dicurigainya, termasuk istri
almarhum Pak Kardi dan juga anaknya
Pagi
itu juga, tanpa berpikir panjang, keduanya pergi ke rumah istri almarhum Pak
Kardi. Namun sesampainya ke tempat tujuan, rumah itu sudah dipenuhi kerumunan,
tampak seorang gadi yang dikenalnya duduk ketakutan. Tak lain dia adalah Eliza
yang duduk penuh ketakutan diantara cucuran darah mayat istri sopir. Sementara
anak kecil yang berusia 5 tahun tampak begitu terpukul. Dia tidak dapat berkata
apa – apa.
“Kakak,
kenapa Tuhan begitu jahat hingga mengambil kedua orang tuaku di saat aku masih
kecil. Aku kangen ibu Kak. Aku kangen Ayah. Pokoknya aku harus bertemu mereka.
Tapi bagaimana aku bisa bertemu dia kak?! Kasih tahu aku caranya,”
Sementara
itu Eliza hanya menangis dan memeluk anak berusia 5 tahun yang selalu
menanyakan cara bertemu dengan orang tuanya lagi. Eliza tidak tahu harus
berkata apa untuk menjawab pertanyaan anak kecil itu.
*****
Alhamdulillah, benar dugaanku kalau bukan Eliza pembunuh
pak Kardi. Hasilnya adalah DNA Eliza tidak cocok dengan DNA darah yang ada di
sapu tangan milik pemukul Pak Kardi.
Hanafi
langsung menuju istana kepresidenan untuk memberitahukan hal tersebut pada
presiden. Ketika diinformasikan hal sedemikian, sesuai kenyataan yang terjadi,
tampak sikap yang begitu aneh dari presiden.
“Anak
muda, kau minta emas berapa karung saja akan ku beri. Asalkan kau membenarkan
DNA itu dan mengungkapkannya kepada publik,“
“Mohon
maaf sebelumnya, Pak. Ini bukanlah bentuk ketidakpatuhan saya. Tapi ini adalah bentuk
pengabdian saya di dunia kedokteran untuk menjalankan kode etik seorang dokter
dengan berdasarkan pada fakta yang ada,“
“Kalau
itu keputusanmu, jangan harap kau bisa keluar dari sini dengan tetap menyandang
gelar dokter lagi dan jangan harap kau masih bisa melihat orang – orang yang
kau sayangi lagi, termasuk dengan anak asuhmu di Panti Asuhan,”
Tanpa
berkata apau pun Hanafi meninggalkan ruang presiden dan menuju kost tempatnya
menyimpan kotak rahasia dari Eliza.
*****
Begitu kagetnya Hanafi saat melihat tempat
tinggalnya disatroni oleh lelaki kekar berselempang senjata. Salah seorang
diantaranya memperlihatkan kotak yang diberikan Eliza kepadanya. Tapi dia tidak
gentar karena dia merasa bahawa Allah akan selalu melindungi tiap langkah orang
yang berada di atas kebenaran.
“Dari
mana kalian tahu keberadaan kaset ini?” tanya Hanafi
“Sahabat
yang kau anggap saudara yang telah memberitahukan ini kepada kami. Lebih baik
kalian pergi semua dari negara ini.” ancam mereka meninggalkan kost Hanafi.
“Hanafi
maafkan aku. Semua ini karena terpaksa. Jika aku tidak memberitahukan kaset ini
maka mereka akan membunuhku, kau, ayah, Eliza, dan juga putra Pak Kardi.“ sahut
Fikri
“Sudahlah.
Pasti Allah memberikan rencana yang terbaik untuk kita.” sambung Hanafi.
“Besok
pagi – pagi sekali kita berangkat ke rumah orang tuaku. Disana sekiranya tempat
sementara yang aman untk kita semua.” tambahnya.
*****
Sesampainya
di rumah Hanafi yang tampak begitu sepi. Hanya dipenuhi oleh pembantu dan
penjaga keamanan. Mereka beristirahat di ruang tamu. Sementara Hanafi pergi
membawa sesuatu dari bilik kamarnya.
“Alhamdulillah setelah menerima kotak
dari Eliza segera Allah menuntun hati saya untuk menggandakan semua dokumen
yang ada di dalamnya. Setelah itu saya meletakkannya di rumah ini. Karena rumah
ini adalah tempat paling aman yang belum terjamah oleh mereka.”
“Alhamdulillah” ucap semua yang ada di
ruangan itu tidak menyangka kecerdikan Hanafi.
Hanafi
dan Fikri pun bergegas ke Badan Pengawasan dan Pengadilan Negara melalui
penyamaran yang sulit dikenali. Setelah kasus diproses selama 7 hari, presiden
dinyatakan bersalah dan dilakukan pemilihan presiden lagi. Melalui musyawarah
perwakilan di setiap perwakilan daerah, akhirnya Hanafi terpilih menjadi
presiden baru dengan gelar barunya juga yaitu spesialis forensik. Dia adalah
dokter pertama yang menjabat sebagai seorang presiden. Hanafi adalah seorang
presiden yang hidup dalam kondisi yang cukup. Dia selalu memberikan sebagian
besar gajinya untuk disumbangkan panti Asuhan.
Hanafi
menikah dengan Eliza, dan memutuskan untuk mengangkat putra Pak Kardi sebagai
anak angkatnya. Sedangkan Fikri melanjutkan menjadi seorang akuntan negara.
Posting Komentar