Terbengkalai

Diposting oleh Feriska Lala , Kamis, 24 Januari 2013 10.48

  Tumpukan karya fiksi yang selalu terbengkalai untuk diselesaikan. Aku semakin tahu jika hanya dengan tulisan aku berkata – kata. Dunia serasa tidak akan pernah tahu kalau ada rahasia besar yang ingin kuungkapkan. Tanpa bisa dipungkuri, aku pengecut, aku tak punya nyali untuk mengungkapkan yang terpendam di dada. Rasanya, aku benar – benar pengecut jika tidak mampu mengunkapkan perasaan ini kepadanya sampai mati. Dia memang bukan tokoh pertama dalam cerita fiksiku, tapi senyumnya membuatku menjadikan tokoh pertama dalam fiksi kali ini. Ini adalah, pertama kalinya aku menulis setelah semua media dan fasilitas menulis disita oleh orang tua. Yang akhirnya, aku ambil diam – diam, hehe. 
Aku yang dulu dan sekarang sdikit berubah. Aku tidak lagi menceritakan sosok perfeksionis yang sempurna dalam segala hal, termasuk urusan cinta. Maklumlah, dulu aku adalah anak SMP yang memiliki mimpi muluk – muluk seperti pada anak ABG pada umumnya. Aku sekarang lebih realistis dalam merajut sebuah fantasi.  
Sebut saja, tokoh dalam ceritaku kali ini adalah Zona. Dia terlahir dengan nama familiar di telinga orang. Sosok cewek yang super rapuh, namun seolah-olah berpura-pura strength. Lahir dari keluarga sederhana yang sangat menjunjung arti kebersamaan dan kasih sayang.
“Cethuk” bunyi bbm ku, yang langsung ku jawab dengan status :
“Let me write, just one night”
Sekeluarga juga ngk pernah setuju kalo aku nulis. Maka dari itu, aku memendam keinginanku jauh-jauh sejak SMA buat jadi penulis (sebelum aku 100% addict yang namanya nulis). Eh ngk tahunya, tadi keponakanku yang unyu plus super cerdas, nemuin kumpulan cerpenku yang sudah lama banget disembunyiin ortu dan aku cari – cari ngk ketemu. I know their worried, but please let me write it jut 1 night, then I obey you all like first.
Saat ini, mau tidak mau, Zona harus menjalani proses kaderisasi yang merenggut banyak waktu belajar dan bermainnya sebagai mahasiswa baru. Sejak awal, dia tidak pernah setuju dengan kaderisasi. Karena itu adalah sebuah sistem yang tradisinya diturunkan turun temurun. Tanpa harus, ada intruksi hormat senior, solid, dan bla bla, bla, Zona sudah pasti menanamkan sistem itu. Ya karena, seperti itulah didikan orang tua Zona kepadanya dan juga saudara – saudaranya. Juetru dengan adanya pengkaderan, membuat Zona nampak dikekang dengan mulut – mulut tidak berpendidikan para seniornya. Pengkaderan yang selalu diagung-agungkan oleh nenek moyang jurusannya, dirasakan Zona sebagai bentuk pembatasan ekspresi yang diatur ini dan itu. Maklum saja, karena sifat Zona adalah koleris.
Tujuh bulan sudah Zona menjalanipengekangan tanpa batas itu. Namun sampai kapan seperti ini.. yang ada dipikirannya Zona, kapan aku bisa bernafas seperti mahasiswa normal lainnya di universitas lain.
“Ehm, ada titpan surat dari mas Findo untuk mu”, cetur getir Rara, teman seangkatan yang begitu antusias membenci Zona. Mas Findo adalah ketua senat mahasiswa jurusan Zona. Kalau disebut surat, selembar kertas puiih itu tidak berkop surat. Tanpa pikir panjang Zona yang nampak penasaran langsung membuka lipatan – lipatannya.
“Ha? Surat panggilan menghadap sekretaris Jurusan? Sumpah, apa – apaan ini? “ teriak Zona yang membuat nya menjadi perhatian banyak orang yang sedang makan di sekelilingnya.
“Tuhan, sumpah aku benar – benar gila jika di jurusan ini terus – menerus. Kenapa dulu aku ngk nurut mama – papa sih buat jadi mahasiswa kedokteran. Bodaoh. Nampaknya, disini aku bakal menjadi benar – benar bodoh’ ucap Zona dalam hati. Nampaknya, dia sudah bosan mengeluh karena jawaban yang selalu dilontarkan ibunya adalah :
“Jadi anak itu harus sabar. Kamu harus jalani hidup yang penuh pembelajaran ini dengan ikhlas. Karena kalau kamu ikhlas pasti kamu mendapatkan hasil yang baik. Ini adalah keputusan jurusan yang kamu ambil sendiri. Kamu harus konsekuen. Kamu harus sabar. Kamu harus senang menjalani. “
“Sabar dari hongkong, yang ada aku menjadi sarjana gila yang mati gelar setelah lulus dari sini ma,” cetus Zona tiap kali ingat petuah ibu nya.
“Tidak,...!!!! Stop pikiran Negatif. Aku pasti bisa. Aku harus dipastikan bisa, dapat menjadi seorang yang luar biasa, setelah tamat dari sini” teriak Zona dengan lantang sambil berlari meninggalkan kafe makanan dekat kompleks kontrakannya.  
Sepi, rasanya sungguh sepi dalam gemuruh keramaian. Langkah demi langkah mengayun kaki ku. Tak ada yang istimewa. Langkah – langkah ini seperti langkah orang hidup tapi berasa mati. Hanya kepercayaan, hanya ‘trust” yang mampu menggerakkan otot ini untuk berdiri tegak. Tuhan, aku sangat percaya Engkau. Walau tidak bisa kupegang sekarang. Aku yakin, bukan fatamorgana lagi srtrlah ini. Aku yakin sudah cukup Engkau memberikan fatamorgana padaku. Dan aku pun tahu jika Engkau pun sudah letih melihatku tertatih – tatih. Untuk Mu, hanya untuk Mu aku mencoba kokoh selama ini. 

-BERSAMBUNG-

0 Response to "Terbengkalai"

Posting Komentar